Cari Blog Ini

Senin, 25 Oktober 2010

membangun karakter

Menyimak  cerita dari teman sekantor tentang kebiasaannya dalam urusan "table manner" adalah hal yang menarik bagi saya. Disebut table manner karena teman saya itu mempunyai cara unik dalam menghabiskan makanan. Daging -yang bagi kebanyakan org indonesia adalah menu terlezat- selalu disisakan untuk dimakan pada asupan terakhir. Menurut ceritanya, kebiasaan yang sampai sekarang diusia 40an masih bertahan itu merupakan warisan dari  bapaknya. Banyak hal yang dia ceritakan mengenai sisi unik dirinya namun itu adalah salah satu contoh. Sebuah contoh yang cukup mewakili bagi saya.
Jadi teringat cerita dari orang terkasih saya. Sebut saja Mawar ( bukan nama sebenarnya-red), dia lagi koas di RSGM UGM Yogya di bagian Ilmu Kedoktran Gigi Anak (IKGA). Ya mungkin beberapa dari anda tahu bagaimana susahnya mencari pasien untuk dijadikan " objek" praktek ilmu mereka. Pasien harus diantar jemput dan lebih sering pada siang hari karena menunggu pasien pulang sekolah. Di akhir kegiatan adalah kegiatan “thankgiving” yaitu mengucapkan rasa terimakasih dengan cara mentraktir makan, tentu saja mentraktir minum juga.  Disinilah unik cerita ini. Seorang anak kecil kelas lima SD, yang ibunya sedang sakit. Ibunya memberikan uang bekal sebanyak 7000 rupiah. Mawar mengajak anak kecil itu ke sebuah supermarket. Melihat cara anak itu membelanjakan uang bekalnya membuat Mawar terkesan. Anak itu dengan cermat mengamati harga barang barang yang ingin dibeli dengan tidak lupa mengecek kecukupan dari uang bekalnya."Ibu suka banget sama susu, adik pengen membelikan Ibu susu" katanya. Namun si Mawar malah melakukan hal yang layaknya seorang bos. Dia menyuruh ambil saja apa yang ingin dibeli. Namun tetap anak itu tidak menunjukkan keinginan untuk mengambil sesuatu yang harganya lebih dari uang bekal dari ibunya. Akirnya si Mawar yang mengambil sendiri barang barang yang ingin diberikan untuk ibu dari anak kecil itu. Dan dengan bawaan yang lumayan banyak mereka pulang.
Ketika Mawar cerita tentang kejadian tadi seketika saya tampil sebagai seorang psikolog yang sok ngerti kejiwaan anak. Saya bilang,"Mawar…., apa yang kamu lakukan justru berakibat tidak baik".  Kata saya dengan berkacak pinggang sambil sisiran. Saya menilai bahwa apa yang dilakukannya sama dengan mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan didikan orang tuanya. Dengan kalimat yang lenih bombastis, berarti Mawar telah dengan sengaja namun tidak sadar mencoba menghancurkan hasil didikan orang tuanya yang mungkin sudah bertahun tahun dilakukan. Mendidik untuk tidak mudah menerima pemberian orang mungkin atau mendidik dari awal menjadi seorang akuntan handal. Siapa tahu.....???? Alhasih si Mawar pun berkomentar,”Ohhh gitu yah??????”. Tentu dengan tanda tanya besar karena yang berbicara bukan ahli kejiwaan tetapi ahli ilmu proses pangan yang biasanya menangani benda benda yang tidak berjiwa apalagi berkarakter. Hehehe... Tapi itulah menurut pemikiran saya.
Perbincangan mengenai pengembangan kepribadian selalu menjadi topik yang tidak pernah usang bagi saya. Bagaikan menempuh sebuah perjalanan tanpa ujung. Seperti pada hari itu, pembicaraan kembali menarik ketertarikan saya. Sadar ataupun tidak, apapun diri kita saat ini adalah bentukkan dari percampuran antara pendidikan dari orang tua kita yang di campur aduk dengan lingkungan dimana kita hidup dan (meminjam istilah Gede Prama) hasil perbincangan kita dengan diri sendiri. Bahkan di era ini kita tidak dapat menyangsikan bahwa lingkungan tidak dapat lagi dibatasi oleh lingkungan yang bisa disentuh dan terjangkau tangan, namun dunia maya dan dunia visual adalah sebuah "lingkungan sekunder" yang turut ikut campur dalam pembentukan diri kita, kepribadian kita. Membentuk karakter mirip dengan mencoba mengidentifikasi rangkaian kusut dari GEN. Kita berharap bahwa suatu rangkaian GEN akan menghasilkan suatu karakter yang kita inginkan. Ada kalanya tepat namun lebih sering justru memunculkan sebuah sifat yang aneh. Lebih banyak kita mampu memperkirakan penyebab suatu sifat muncul daripada memprediksi hasil dari suatu rangkaian pendidikan. Ini juga yang membuat siapa saja akan bahagia terharu melihat anak didiknya yang berprestasi. Karena di dalam diri anak itu tercermin segala usaha yang telah dicurahkan untuk mendidik dia. Disana tercermin ribuan GEN yang kita pilih untuk diharapkan tumbuh menjadi pribadi dominan diantara sekian banyak GEN negatif resesif lainnya. Walaupun para pendidik juga dihadapkan langsung oleh suatu pertanyaan besar, yaitu “puluhan atau ratusan yang telah didik dengan rangkaian GEN yang sama namun hanya muncul pada beberapa anak didik.?” Namun hutan belantara kepribadian tidak boleh ditinggalkan. Hutan ini harus dimasuki dan diidentifikasi kemudian ditemukan jalan keluarnya. Setelah kita mengenal hutan ini kita akhirnya tahu dimana tempat berkemah atau dimana tempat bagus membangun pondok untuk menghindarkan diri dari serangan hewan buas.

Minggu, 10 Oktober 2010

Sampahku Sampahmu

Pagi-pagi berangkat dari kosan menuju kampus, walaupun jam hp masih menunjukkan pukul 6:25. Hari itu saya berangkat dengan berjalan kaki, karena sepeda motor saya pijamkan kepada surya. Teman sesama kantor. Terasa enak berangkat dengan berjalan kaki. Banyak hal yang terlewat begitu saja saat mengendarai sepeda motor. Saya bisa melihat kesibukan orang yang sedang menyiapkan dagangannya. Daerah kosan saya terletak pada daerah catur tunggal. Saat di malang, kita menyebutnya sebagai Kampung kota, karena dia menjadi seramai kota akibat munculnya universitas walaupun sebenarnya berawal dari sebuah kampong. Makanya tampak sekali kehidupan transisi dari masyarakat yang masih tradisional menuju sedikit metropolis (yah agak kekotaanlah). Saat memasukki gedung pertanian Nampak lapangan rumput yang sedikit luas dengan rumput hijau yang sangat cerah dengan titik embun disetiap ujungnya. Satu orang Nampak sedang menyapu di sekitarnya, walapun menurut saya daun-daun kering itu mungkin akan lebih mudah dikumpulkan dengan memungutnya ketimbang menyapu. Tapi itu kan dia yang melakukannya, dan dia sudah bekerja beberapa tahun (mungkin) dan saya baru muncul saat itu dengan sebuah hipotesis yang belum sempat saya uji dengan sebuah rancangan percobaan yang sederhana sekalipun untuk dicari nilai signifikansinya ataupun nilai CV-nya (coefficient of variance). Ah terlalu banyak materi-materi kuliah yang masuk ke otak, …ngerti atau tidak???yah minimal saya ingat beberapa istilahnya , sehingga menunjukkan ada yang nyantol sedikit.
Saya lanjutkan langkah saya menuju gedung FTP yang berlantai 5. Sebuah gedung yang sangat mewah untuk sebuah nama yang ada embel-embel pertaniannya. Padahal memang seharusnya seperti itu (menurut mahasiswa Filipina, petani di sana adalah pekerjaan dengan sebuah kesejahteraan lebih, sehingg pekrjaan petani di ktp, menandakan sebuah pekerjaan yang bagus, bukan seperti di Indonesia bahwa pekerjaan petani sebagi sebuah status bukan sebuah pekerjaan). Kali ini ada yang berbeda juga yang saya lakukan. Biasanya saya masuk melalui pintu utara, yang sebelah kanannya anda akan menemukan lobi yang dijaga para satpam. Setiap saya baru sampai pasti saya meilihat ke arah kanan untuk melepas senyum selamat pagi kepada para satpam. Mungkin itu adalah penghargaan yang mereka pantas dapatkan karena sudah datang lebih pagi dan lengkap dengan pakaian dinas mereka, yang kalau tahun 70 mungkin sangat keren.
Namun pagi ini saya masuk melalui pintu timur. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Apa?? Jangan menyangka ada adegan sebuah pengambilan gambar pembuatan sebuah film ataupun sebuah pameran mobil tercanggih masa kini. Bukan jauh dari hal itu, tapi saya terpesona dengan lantai gedung yang mengkilap sampai mirip dengan cermin yang digelar dilantai. Tampak saat itu seorang petugas sedang berusaha menyelesaikan pekerjaannya membersihkan lantai itu. Aku agak canggung melangkah, kasihan lantainya…namun hukum yang berlaku disana adalah kami membersihkan anda silahkan berjalan, karena kalau ada tidak berjalan, maka kami juga tidak perlu lagi membersihkannya dan kami tidak berarti dan itu berarti kami tidak perlu lagi ada disini…
Sebuah pemikiran yang perlu direnungkan juga. Setiap orang yang menjadi bagian dari gedung ini, mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, dan masing-masing mempunyai kemuliaannya sendiri-sendiri. Karena sebuah kemuliaan dibentuk oleh sebuah kemuliaan-kemulian kecil yang dikumpulkan oleh banyak orang. Bukankah sebuah keluarga dinilai ketika seluruh anggota keluarga memang menunjukkan nilai kemuliaannya…jadi jangan merendahkan tingkat kemuliaan seorang tukang sapu.
Jika kita lihat ke bali???? Bali katanya pulau pariwisata (bukan Cuma daerah lho…tapi pulau) tentu kenyaman menjadi pertimbangan utama. Apakah kebersihan menjadi bagian dari kenyamanan itu..TENTU. lalu siapa saat ini yang menjadi ujung tombak dalam hal itu…ya para pasukan kuning diseluruh bali, baik dijalan ataupun di hotel. Lalu penghargaan apa yang kita berikan untuk mereka yang bekerja dengan sluruh tenaga dalam sebuah tempat yang penuh dengan lalat, belatung, bau tidak enak, kotor dan banyak hal yang ingin anda buang (karena itu disebut sampah). Yah setinggi apa penghargaan yang diberikan oleh Bali akan bisa kita lihat dari apa yang tertempel pada petugas itu.. ahh…bali memang aneh yah…kok sampah bertebarann padahal daerah pariwisata yah…lalu kita jijik dengan sampah dan kita serahkan pekerjaan itu kepada orang lain, dan kemudian kita jijik memberikan mereka sedikit kesejahteraan kepada mereka, dan kemudian kita mengumpat kalau sampah terlambat diangkut, padahal saat kita sedang dengan nyamannya memeluk anak istri kita dirumah, mereka sudah bangun untuk bergulat dengan sampah….tuhan berikanlah seluruh kesehatan bagi mereka semoga mereka tidak sakit, dan bisa terus menjaga bali…karena kalau mereka sakit, pasti mereka akan kesulitan mencari uang untuk diserahkan kepada orang yang dipercaya mampu menyembuhkan walaupun hanya dengan bertanya dan sedikit sentuhan diujung jari. Dan hasil kerja mereka berhari-hari dengan seluruh tenaga, akan berpindah tangan dalam waktu 2 detik…tuhan ii sebuah doa yang benar-benar ingin hamba panjatkan tuhan…mohon dengarlah tuhan…aku mohonkan keadilanMu yang nyata didunia ini.

Lokasamastha sukinah bavantu
Semoga semua makhluk berbahagia

sop buah kota Jojga

Pertama kali sampai di jogja ada satu hal yang menarik. Anda akan dengan mudah menemukan pedagang kaki lima atapun sekarang sudah bertambah jadi kaki 7 atau 6 dengan alasan lebih ergonomis, warung-warung atapun menu pendamping makanan selain es teh dan minuman botolan yaitu jus buah atapun es campur buah. Mereka menamakan sebagai soup buah segar karena memang nampa seperi soup. Melihat potensi kota jogja tentu tidak akan menyangka kalau ternyata jogja sendiri bukan penghasil holtikultura yang berlimpah. Karena banyak terjadi sesuatu yang bertolak belakang khan. Coba kita makan di daerah bedugul/baturiti yang notabene adalah penghasil sayuran. Kita akan sangat susah menemukan warung dengan menu sayuran kecuali sejenis restoran atau depot. Malah pengalaman saya saat berangkat dari singaraja menuju denpasar dan kebetulan diajak disinggah untuk menikmati samangkok bakso khas bedugul. Pas saya minta baksonya ditambah kol, pedagangnya malah kebingungan mencari pinjaman kol ke warung sebelah..aneh…
Namun yang ingin saya ceritakan bukanlah mengenai joga dengan soup buahnya namun tentang sebuah “warung” jus buah (saya sebut warug karena tidak layak disebut warung jika criteria warung di berikan). Dia hanya menggelar dagangannya di sebuah meja tidak lebih dari 1x1 meter lengkap dengan wadah aneka buah dan 2 blender yang dengan perkasa melumat semua jenis buah yang dimasukkan kedalamnya sampai menjadi jus.walaupun kecil jangan sangka warungnya sepi. Anda akan lebih serring menemukan warung itu di kerubungi orang daripada melihat penjualnya duduk menunggu pembeli. Mengenai aneka jus yang dijual, tidak kalah dengan Moena Fresh (sebuah took buah yang ada dibali yang didirikan oleh keluarga Moena). Asal anda melihat jenis buah yang tersedia, berarti anda bisa memesannya. Atau kalau anda bingung ingin jus jambu biji atau jus anggur, anda tidak usah ragu untuk pilih menu jus jambu biji campur anggur. Bebas….dan kalau kita melihat cara dia menyajikan dagangannya, anda harus lupakan sementara masalah higienis. Karena masalah higienitas menurut standar penjualnya adalah “selama belum ada yang sakit akibat minum jusnya, maka selama itu higienis” simple but sutralah…..anda juga akan sangat biasa melihat dagangannya dikerubungi binatang-binatang kecil yang beterbangan…tapi jangan salah sangka mengatakan itu adalah lalat…bukan. Karena ada 1 hewan yang bisa terbang dan sangat doyan dengan manis-manisan dan berbau ranum. Bukan semut terbang ataupun kupu-kupu tapi tawon. Mereka rela mati kejepit tutup toples ataupun mati tenggelam di dalam jus. Jadi lalat pada nyingkir dan terpaksa mencari incaran lain, karena sadar dirinya tidak punya senjata sehebat tawon.
Namun 1 hal yang menjadi perhatian adalah harga yang ditawarkan hanya 2500 rupiah. Setengah dari harga 1 porsi makanan diwarung dengan menu sayur dan 1 pindang atau telur dadar. Dan kualitas jusnya juga lumayan, buahnya terasa dan manisnya asli gula. Saya selalu berpikir bahwa sampai dunia kiamat pun, yang namanya makanan murah akan menjadi idola bagi umat manusia apalagi dengan kualitas yang sepadan. Saya jadi berpikir adakah orang yang mau mengikuti jejak bapak tapi menjadi penjual jus murah meriah dan sehat, minimal untuk meningkatkan konsumsi buah perkapita dari penduduk Indonesia. Kalau dihitung dengan ekonomi pembangunan setingkat pasca sarjana, mungkin system penjualan warung itu tidak akan mengganggu perekonomian nasional apabila dia bangkrut, apalagi sampai mengguncang ekonomi dunia seperti krisis amerika. Namun melihat dari jam kerja warung dengan laju penjualan, tentu omztenya juga bukan kecil. Minimal para suplayer buah kelas teri yang tidak bisa masuk ke supermarket sekelas carefour ataupun sejenisnya dapat terbantu dengan usaha jus murah meriah ini. Dan membantu pula orang yang seperti saya yang ingin mengkonsumsi buah minimal 1 butir setiap hari bisa menjangkaunya.
Setelah memesan jus kesukaan saya yaitu jambu biji dicampur anggur meja, saya melihat kesekeliling, banyak sekali orang yang menyedot jus dari kantong plastic. Jadi kayak iklan tapi ini nyata. Hingga suatu saat ada iklan yang berbunyi..”srubutane opo rek???....(minumnya apa mas?)…orang-orang akan menjawab jus murah meriah rek….” Tentu sebentar lagi aka nada rekor muri baru..minum jus buah murah meriah dengan buah asli Indonesia yang dibuat oleh persatuan warung kecil penjual jus sebanyak 2 tangki dalam waktu 2 jam….wah..wah….wah…ayo jus murah go…go…go…

sepasang kekasih

30 Oktober 2008

“ora duwe lauk” mendengar kalimat itu aku menoleh ke arah seorang ibu yang sudah renta. Aku parkirkan motorku mepet semepetnya dengan tembok, karena walaupun kosan ini tingkat 3, namun tidak punya garasi untuk sepeda motor. Setelah aku rasa motorku diparkir dengan benar, aku kembali menoleh ke arah ibu tadi, namun kali ini bukan kea rah mukanya namun ke semangkok nasi yang hanya ditaburi dengan sayur terong agak kecoklatan. Biasa. Orang orang memasak terong pasti sampai semua terlihat coklat dan sedikit membubur. Aku penasaran ingin melihat ke siapa ibu itu berbicara. Ternyata seorang bapak tepatnya embah yang sudah renta juga. Pernah sekali waktu aku berpapasan dengan dia di suatu pagi saat mbah itu jogging. Menurutku jogging. Saat ibu itu masuk membawa nasi itu, si embah berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya…kenapa setelah aku tinggalkan mereka berdua untuk menuju kamarku di lantai 3,kalimat ibu itu masih terus terngiang-ngiang. Ibu serenta itu hidup dengan keadaan seperti itu, padahal anaknya adalah pemiliki kosan lantai 3 ini. Hmmm….
Ah aku mencoba untuk tidak mengangankan mereka hidup dengan lebih dari saat ini. Karena ketika aku mengangankan mereka lebih dari sekarang belum tentu yang mereka jalani saat ini adalah sebuah ketidalayakan. Mungkin bukan….yah aku mencoba untuk tidak menghayalkannya…(tapi kenapa aku menulis ini kalau perisiwa tadi tidak menggangguku???) aku coba untuk melihat keindahan dari mereka berdua. Serenta itu mereka masih bersama, mungkin badan sudah jauh dari yang namanya atletis apalagi metroseksual, pandangan pun sudah agak kabur untuk bisa membedakan pasangannya sudah berdandan atau belum, ataupun pendengaran mereka sudah tidak lagi mereka gunakan untuk mendengar rangkaian kata-kata romantis yang mengisi masa muda mereka, namun ada yang masih mereka rasakan dan mereka genggam sampai sekarang ini. ..cinta..mereka masih merasakannya sampai saat ini. Keadaan yang mereka hadapi bukanlah ukuran untuk menilai layak atau tidak mereka menempatkan cinta di hati mereka masing-masing. ..yah itulah anugerah terindah yang masih mereka miliki sampai saat ini, dan mungkin sampai badan mereka menyatu dengan tanah. Setelah saya menyadari diri saya hanya ditemani pacar saya yang asli amerika, saya menyadari…cinta mereka yang membuat apa yang mereka jalani menjadi begitu indah….semua menjadi emas….akh….aku akhir tulisan ini dan menutup layar pacarku untuk membaca-baca jurnal yang tadi aku kopi diperpustakaan…

Seporsi Bubur Ayam khas Jakarta

Pagi ini untuk pertama kalinya keluar dengan teman kosan untuk sekedar mencari sarapan pagi (ya iyalah sarapan pasti pagi….tapi bagi anak kosan, sarapan tidak harus pagi,,,tergantung anggaran. Karena bisa jadi bukan breakfast tapi “breaknotfast” karena dilakukan agak siang). Naik motor GL pro yang suaranya kayak helicopter mau turun. Tapi sudahlah, toh cocok dengan 2 pengendaranya yang belum cuci muka apalagi sikatan. Langsung menuju langganannya yaitu bubur ayam khas Jakarta tapi yang jelas bukan langganan saya…karena langganan saya adalah sarapan dengan roi tawar yang dijual penjaja keliling.
Duduk langsung memesan 2 porsi bubur dan 2 gelas teh hangat..
Bubur…???
Sebentar saya jadi mengingat yang jam 2.30 tadi sudah bangun hanya untuk menggodok beras untuk menjadikannya bubur..orang menyebutnya bubur beras. Karena membeli bubur beras dapat bonus kacang kedelai dan juga “urab” dari daun labu muda..saya tidak berharap mendapatkan hal yang sama pagi ini, karena saya tahu, sehebat apapun ibu menjual bubur berasnya tidak akan menjadi bubur "khas Men Gendri atau bubur "Pagi Khas Munduk" (nama dusun saya di desa sawan). Asal usul urap daun labu muda ini pun, sangat terkait dengan kesehatan. Konon sakit asam urat yang ngetrend dikalangan orang berumur, anti dengan kacang panjang, jadinya urab daun labu muda, aman dikonsumsi bagi mereka. Jadilah labu di halaman menjadi sasaran tidap pagi.Ibu tidak pernah memikirkan bagaimana merubah manajemen pemasarannya semenjak tahun 80-an..bahkan sudah cenderung kehilangan konsumen karena sarapan bubur mirip dengan kebiasaan orang sakit…yang keren sekarang adalah sarapan dengan makanan ringan yang penuh hadiah…ah coba ibu mau menjual bubur dengan hadiah mainan kecil dari negeri tirai bambu, mungkin anak anak akan membeli bubur agar dapat hadiah…kemudian mengambil hadiahnya…dan membuang buburnya (ya Tuhan…)
 
Penjual bubur khas Jakarta ini tidak tanggung-tanggung. 11 orang. Pembeli cukup rame jika dibandingkan dengan tempat yang tersedia dan sangat rame jika dibandingkan dengan pembeli bubur ibu saya. Pembeli datang hilang berganti, ada yang berpakaian dinas, ada yang berpakian olah raga dengan menenteng raket bulutangkis, ada juga yang memajukan jadwal ngapel yang pagi-pagi segini sudah dandan cakep dan cantik….dan pembeli yang lusuh karena belum cuci muka juga ada…yaitu saya. ternyata inilah "Khas Jakartanya"...the city never sleep
Tanpa menunggu lama, pesenan datang yang didahului oleh teh hangat. Di depan tersedia kecap, sambal dan kuah tambahan kalau kurang kancab (bahasa bali, artinya kuahnya berlimpah). Saya rasakan…cukup enak juga. Mungkin pas untuk lidah jawa tengah yang suka manis.
Saya sudah menyiapkan selembar uag minimal 5000an dan beberapa lembar lagi sebagai cadangan, kalau-kalau harga yang ditawarkan jauh dari dugaan..setelah menyatakan diri untuk selesai menyantap dan meminjam kursi dan mejanya, penjual pun dengan murah senyum bilang “5000 saja mas”. Berani nawar???
Tentu tidak. Tapi ini bisa terjadi diwarung ibu saya…pembeli membeli apapun sesuai dengan uang yang dia bawa..jadi ibu yang mengambilkan sesuai dengan kemampuannya membeli bubur. Kualitas tetap sama, karena isinya bubur, urab, kedelai dan santan tetap ada. Dan kalau anda menjadi penjual, pasti akan merasakan hal yang serupa; ngasih banyak taku rugi, ngasih sedikit kelihatan “nista”. Dengan memendam rasa inilah, ibu tetap bertahan menjadi penjual..kadang ibu marah melihat tingkah pembeli yang sok tidak mau  ngerti. Belanja dikit minta aneh-aneh, dibungkus pake plastik dua lah, santannya dipisah lah, urabnya dibanyakin lah. di warung ibu pembei adalah raja masih berlaku sekali. Sekali marah, seringkali pembeli langsung tidak mau datang dan ngegosipkan di warung lain dengan bumbu-bumbu yang lebih pedas dari bumbu urab yang dimakannya..dan ini adalah sasaran empuk bagi warung lain…hehe emang begitulah nasib penjual tradisional..boro-boro meminta PPn dari pembeli, membeli dengan harga lebih tinggi dikit saja sudah minta ampun susah. Lebih susah dari minta janji politisi yang berkampanye menjelang pemilu..kenapa??? karena kadang presiden sudah berganti, sedangkan harga yang dijual ibu masih tetap…
Kalau saya memberikan tebakan mengenai harga seporsi bubur ibu saya, anda akan menjawab berapa??
5000?...salah
2500?...masih salah juga
1000?...mendekati
Yah benar. 500 sampai 200 perak saja. Jadi anda tidak perlu takut dengan dompet tipis anda..dan jangan takut bahwa yang anda makan tidak organic, tidak halal, tidak terjamin sehat, dan tentunya anda tidak perlu jauh-jauh ke warung atau restoran yang menyajikan masakan khas masa lalu yang dimasak dengan kayu bakar..api yang digunakan murni dari kerakusan api melahap kayu bakar yang diambil dari tegal. Tegal yang ada jauh dan ditempuh denga melalui jalanan licin, berbatu dan berilalang…semua keringat ini disajikan dengan tulus tepat di depan meja anda….
Yah jaman sekarang, nilai 500 rupiah bisa untuk apa?? Biaya pendidikan saja sudah tidak mengenal kembalian 500 rupiah, semua dibulatkan keatas. Bila perlu dibulatkan ke jutaan terdekat..beruntung saya sempat kuliah di fakultas para petani, yang bisa "mulat sarira" (introspeksi diri). Tahu bahwa para mahasiswanya anak petani..Jadi,  meningkatkan SPP persemester masih mikir 1x102 kali. Karena mungkin mereka sadar bahwa kenaikan SPP hanya akan mengorbankan orang-orang yang mungkin senasib dengan ibu sebagai penjual tradisional, atau para buruh tani yang baru mendapat uang setelah tanahnya menghasilkan atau ternaknya beranak atau cukup umur untuk di jual…jadi, mengabdi pada orang-orang yang hidup dari kerja keras, bagi saya lebih mulia ketimbang mengabdi pada orang-orang yang hanya bisa menilai arti pengabdian kita dengan setumpuk lembaran uang. Semoga teman-teman sekantor saya tidak kehilangan semangat untuk menjadi yang terbaik walaupun mengabdi di jurusan yang dipandang sebelah mata karena selalu tertatih-tatih memperoleh mahasiswa.
Terkadang keadilan terjadi karena kepasrahan akan keadaan. Adilkah bagi seorang yang sudah menginjak kepala 5, masih harus bangun jam 2 pagi hanya untuk menyiap seporsi bubur dengan harga yang “pantastis”…adilkah bagi seorang ibu harus dihadapkan pada merajalelanya toko-toko modern yang sudah beberapa kali menyajikan makanan penuh racun kepada masyarakat?. Bahkan yang ada dipikiran mereka, hanya bisa menunggu dagangannya dengan tidak penuh harap. Bahkan mereka harus bertahan dengan rengekan anaknya yang tetap menangis meminta uang untuk membeli snack berhadiah, karena mereka sudah tidak mau lagi puas dengan makanan buatan tangan ibunya…
Terkadang membuka mata bagi mereka-mereka yang tertindas dalam gemerlap pasar global, membuat selera makan saya hilang ketika duduk di kursi McDonald, KFC ataupun Pizza Hut. Dan apapun nama “warung” itu. Seakan-akan setiap rupiah yang saya bayarkan terbayang betapa berartinya uang ini jika jatuh ke tangan ibu-ibu pedagang tradisional, bapak-bapak penarik becak, sopir yang menunggu penumpang dipinggir jalan, para pemulung yang hidup ditengah sampah penuh lalat.
Tapi, saya yakin bahwa Tuhan akan memandang kehidupan mereka dari mata Beliau yang berbeda dan penuh dengan kasih. Tetap memberikan harapan untuk hidup ditengah kerasnya hukum hidup yang dibuat oleh orang-orang berkuasa untuk melawan orang lemah…
Sebenarnya siapa yang penakut??
Para pemegang kuasa atau orang yang tertindas???
Orang tertindas tidak akan mampu membuat aturan untuk melindungi mereka sendiri. Tapi orang berkuasa, terus membuat aturan untuk menjauhkan mereka dari jangkauan para kaum tertindas..
Adakah yang berani melarang membuat supermarket sampai ke pelosok desa untuk melindungi pedagang tradisional?
Adakah yang berani memberikan pelayanan kesehatan dengan biaya murah bagi mereka yang sangat butuh sehat hanya untuk bekerja untuk bertahan hidup??
Siapan pun merek itu, mereka harus yakin bahwa selama hidup mereka akan dinanti bahkan sampai mati pun akan tetap diharapkan hidup kembali…….