Cari Blog Ini

Senin, 25 Oktober 2010

membangun karakter

Menyimak  cerita dari teman sekantor tentang kebiasaannya dalam urusan "table manner" adalah hal yang menarik bagi saya. Disebut table manner karena teman saya itu mempunyai cara unik dalam menghabiskan makanan. Daging -yang bagi kebanyakan org indonesia adalah menu terlezat- selalu disisakan untuk dimakan pada asupan terakhir. Menurut ceritanya, kebiasaan yang sampai sekarang diusia 40an masih bertahan itu merupakan warisan dari  bapaknya. Banyak hal yang dia ceritakan mengenai sisi unik dirinya namun itu adalah salah satu contoh. Sebuah contoh yang cukup mewakili bagi saya.
Jadi teringat cerita dari orang terkasih saya. Sebut saja Mawar ( bukan nama sebenarnya-red), dia lagi koas di RSGM UGM Yogya di bagian Ilmu Kedoktran Gigi Anak (IKGA). Ya mungkin beberapa dari anda tahu bagaimana susahnya mencari pasien untuk dijadikan " objek" praktek ilmu mereka. Pasien harus diantar jemput dan lebih sering pada siang hari karena menunggu pasien pulang sekolah. Di akhir kegiatan adalah kegiatan “thankgiving” yaitu mengucapkan rasa terimakasih dengan cara mentraktir makan, tentu saja mentraktir minum juga.  Disinilah unik cerita ini. Seorang anak kecil kelas lima SD, yang ibunya sedang sakit. Ibunya memberikan uang bekal sebanyak 7000 rupiah. Mawar mengajak anak kecil itu ke sebuah supermarket. Melihat cara anak itu membelanjakan uang bekalnya membuat Mawar terkesan. Anak itu dengan cermat mengamati harga barang barang yang ingin dibeli dengan tidak lupa mengecek kecukupan dari uang bekalnya."Ibu suka banget sama susu, adik pengen membelikan Ibu susu" katanya. Namun si Mawar malah melakukan hal yang layaknya seorang bos. Dia menyuruh ambil saja apa yang ingin dibeli. Namun tetap anak itu tidak menunjukkan keinginan untuk mengambil sesuatu yang harganya lebih dari uang bekal dari ibunya. Akirnya si Mawar yang mengambil sendiri barang barang yang ingin diberikan untuk ibu dari anak kecil itu. Dan dengan bawaan yang lumayan banyak mereka pulang.
Ketika Mawar cerita tentang kejadian tadi seketika saya tampil sebagai seorang psikolog yang sok ngerti kejiwaan anak. Saya bilang,"Mawar…., apa yang kamu lakukan justru berakibat tidak baik".  Kata saya dengan berkacak pinggang sambil sisiran. Saya menilai bahwa apa yang dilakukannya sama dengan mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan didikan orang tuanya. Dengan kalimat yang lenih bombastis, berarti Mawar telah dengan sengaja namun tidak sadar mencoba menghancurkan hasil didikan orang tuanya yang mungkin sudah bertahun tahun dilakukan. Mendidik untuk tidak mudah menerima pemberian orang mungkin atau mendidik dari awal menjadi seorang akuntan handal. Siapa tahu.....???? Alhasih si Mawar pun berkomentar,”Ohhh gitu yah??????”. Tentu dengan tanda tanya besar karena yang berbicara bukan ahli kejiwaan tetapi ahli ilmu proses pangan yang biasanya menangani benda benda yang tidak berjiwa apalagi berkarakter. Hehehe... Tapi itulah menurut pemikiran saya.
Perbincangan mengenai pengembangan kepribadian selalu menjadi topik yang tidak pernah usang bagi saya. Bagaikan menempuh sebuah perjalanan tanpa ujung. Seperti pada hari itu, pembicaraan kembali menarik ketertarikan saya. Sadar ataupun tidak, apapun diri kita saat ini adalah bentukkan dari percampuran antara pendidikan dari orang tua kita yang di campur aduk dengan lingkungan dimana kita hidup dan (meminjam istilah Gede Prama) hasil perbincangan kita dengan diri sendiri. Bahkan di era ini kita tidak dapat menyangsikan bahwa lingkungan tidak dapat lagi dibatasi oleh lingkungan yang bisa disentuh dan terjangkau tangan, namun dunia maya dan dunia visual adalah sebuah "lingkungan sekunder" yang turut ikut campur dalam pembentukan diri kita, kepribadian kita. Membentuk karakter mirip dengan mencoba mengidentifikasi rangkaian kusut dari GEN. Kita berharap bahwa suatu rangkaian GEN akan menghasilkan suatu karakter yang kita inginkan. Ada kalanya tepat namun lebih sering justru memunculkan sebuah sifat yang aneh. Lebih banyak kita mampu memperkirakan penyebab suatu sifat muncul daripada memprediksi hasil dari suatu rangkaian pendidikan. Ini juga yang membuat siapa saja akan bahagia terharu melihat anak didiknya yang berprestasi. Karena di dalam diri anak itu tercermin segala usaha yang telah dicurahkan untuk mendidik dia. Disana tercermin ribuan GEN yang kita pilih untuk diharapkan tumbuh menjadi pribadi dominan diantara sekian banyak GEN negatif resesif lainnya. Walaupun para pendidik juga dihadapkan langsung oleh suatu pertanyaan besar, yaitu “puluhan atau ratusan yang telah didik dengan rangkaian GEN yang sama namun hanya muncul pada beberapa anak didik.?” Namun hutan belantara kepribadian tidak boleh ditinggalkan. Hutan ini harus dimasuki dan diidentifikasi kemudian ditemukan jalan keluarnya. Setelah kita mengenal hutan ini kita akhirnya tahu dimana tempat berkemah atau dimana tempat bagus membangun pondok untuk menghindarkan diri dari serangan hewan buas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar