Cari Blog Ini

Minggu, 10 Oktober 2010

Seporsi Bubur Ayam khas Jakarta

Pagi ini untuk pertama kalinya keluar dengan teman kosan untuk sekedar mencari sarapan pagi (ya iyalah sarapan pasti pagi….tapi bagi anak kosan, sarapan tidak harus pagi,,,tergantung anggaran. Karena bisa jadi bukan breakfast tapi “breaknotfast” karena dilakukan agak siang). Naik motor GL pro yang suaranya kayak helicopter mau turun. Tapi sudahlah, toh cocok dengan 2 pengendaranya yang belum cuci muka apalagi sikatan. Langsung menuju langganannya yaitu bubur ayam khas Jakarta tapi yang jelas bukan langganan saya…karena langganan saya adalah sarapan dengan roi tawar yang dijual penjaja keliling.
Duduk langsung memesan 2 porsi bubur dan 2 gelas teh hangat..
Bubur…???
Sebentar saya jadi mengingat yang jam 2.30 tadi sudah bangun hanya untuk menggodok beras untuk menjadikannya bubur..orang menyebutnya bubur beras. Karena membeli bubur beras dapat bonus kacang kedelai dan juga “urab” dari daun labu muda..saya tidak berharap mendapatkan hal yang sama pagi ini, karena saya tahu, sehebat apapun ibu menjual bubur berasnya tidak akan menjadi bubur "khas Men Gendri atau bubur "Pagi Khas Munduk" (nama dusun saya di desa sawan). Asal usul urap daun labu muda ini pun, sangat terkait dengan kesehatan. Konon sakit asam urat yang ngetrend dikalangan orang berumur, anti dengan kacang panjang, jadinya urab daun labu muda, aman dikonsumsi bagi mereka. Jadilah labu di halaman menjadi sasaran tidap pagi.Ibu tidak pernah memikirkan bagaimana merubah manajemen pemasarannya semenjak tahun 80-an..bahkan sudah cenderung kehilangan konsumen karena sarapan bubur mirip dengan kebiasaan orang sakit…yang keren sekarang adalah sarapan dengan makanan ringan yang penuh hadiah…ah coba ibu mau menjual bubur dengan hadiah mainan kecil dari negeri tirai bambu, mungkin anak anak akan membeli bubur agar dapat hadiah…kemudian mengambil hadiahnya…dan membuang buburnya (ya Tuhan…)
 
Penjual bubur khas Jakarta ini tidak tanggung-tanggung. 11 orang. Pembeli cukup rame jika dibandingkan dengan tempat yang tersedia dan sangat rame jika dibandingkan dengan pembeli bubur ibu saya. Pembeli datang hilang berganti, ada yang berpakaian dinas, ada yang berpakian olah raga dengan menenteng raket bulutangkis, ada juga yang memajukan jadwal ngapel yang pagi-pagi segini sudah dandan cakep dan cantik….dan pembeli yang lusuh karena belum cuci muka juga ada…yaitu saya. ternyata inilah "Khas Jakartanya"...the city never sleep
Tanpa menunggu lama, pesenan datang yang didahului oleh teh hangat. Di depan tersedia kecap, sambal dan kuah tambahan kalau kurang kancab (bahasa bali, artinya kuahnya berlimpah). Saya rasakan…cukup enak juga. Mungkin pas untuk lidah jawa tengah yang suka manis.
Saya sudah menyiapkan selembar uag minimal 5000an dan beberapa lembar lagi sebagai cadangan, kalau-kalau harga yang ditawarkan jauh dari dugaan..setelah menyatakan diri untuk selesai menyantap dan meminjam kursi dan mejanya, penjual pun dengan murah senyum bilang “5000 saja mas”. Berani nawar???
Tentu tidak. Tapi ini bisa terjadi diwarung ibu saya…pembeli membeli apapun sesuai dengan uang yang dia bawa..jadi ibu yang mengambilkan sesuai dengan kemampuannya membeli bubur. Kualitas tetap sama, karena isinya bubur, urab, kedelai dan santan tetap ada. Dan kalau anda menjadi penjual, pasti akan merasakan hal yang serupa; ngasih banyak taku rugi, ngasih sedikit kelihatan “nista”. Dengan memendam rasa inilah, ibu tetap bertahan menjadi penjual..kadang ibu marah melihat tingkah pembeli yang sok tidak mau  ngerti. Belanja dikit minta aneh-aneh, dibungkus pake plastik dua lah, santannya dipisah lah, urabnya dibanyakin lah. di warung ibu pembei adalah raja masih berlaku sekali. Sekali marah, seringkali pembeli langsung tidak mau datang dan ngegosipkan di warung lain dengan bumbu-bumbu yang lebih pedas dari bumbu urab yang dimakannya..dan ini adalah sasaran empuk bagi warung lain…hehe emang begitulah nasib penjual tradisional..boro-boro meminta PPn dari pembeli, membeli dengan harga lebih tinggi dikit saja sudah minta ampun susah. Lebih susah dari minta janji politisi yang berkampanye menjelang pemilu..kenapa??? karena kadang presiden sudah berganti, sedangkan harga yang dijual ibu masih tetap…
Kalau saya memberikan tebakan mengenai harga seporsi bubur ibu saya, anda akan menjawab berapa??
5000?...salah
2500?...masih salah juga
1000?...mendekati
Yah benar. 500 sampai 200 perak saja. Jadi anda tidak perlu takut dengan dompet tipis anda..dan jangan takut bahwa yang anda makan tidak organic, tidak halal, tidak terjamin sehat, dan tentunya anda tidak perlu jauh-jauh ke warung atau restoran yang menyajikan masakan khas masa lalu yang dimasak dengan kayu bakar..api yang digunakan murni dari kerakusan api melahap kayu bakar yang diambil dari tegal. Tegal yang ada jauh dan ditempuh denga melalui jalanan licin, berbatu dan berilalang…semua keringat ini disajikan dengan tulus tepat di depan meja anda….
Yah jaman sekarang, nilai 500 rupiah bisa untuk apa?? Biaya pendidikan saja sudah tidak mengenal kembalian 500 rupiah, semua dibulatkan keatas. Bila perlu dibulatkan ke jutaan terdekat..beruntung saya sempat kuliah di fakultas para petani, yang bisa "mulat sarira" (introspeksi diri). Tahu bahwa para mahasiswanya anak petani..Jadi,  meningkatkan SPP persemester masih mikir 1x102 kali. Karena mungkin mereka sadar bahwa kenaikan SPP hanya akan mengorbankan orang-orang yang mungkin senasib dengan ibu sebagai penjual tradisional, atau para buruh tani yang baru mendapat uang setelah tanahnya menghasilkan atau ternaknya beranak atau cukup umur untuk di jual…jadi, mengabdi pada orang-orang yang hidup dari kerja keras, bagi saya lebih mulia ketimbang mengabdi pada orang-orang yang hanya bisa menilai arti pengabdian kita dengan setumpuk lembaran uang. Semoga teman-teman sekantor saya tidak kehilangan semangat untuk menjadi yang terbaik walaupun mengabdi di jurusan yang dipandang sebelah mata karena selalu tertatih-tatih memperoleh mahasiswa.
Terkadang keadilan terjadi karena kepasrahan akan keadaan. Adilkah bagi seorang yang sudah menginjak kepala 5, masih harus bangun jam 2 pagi hanya untuk menyiap seporsi bubur dengan harga yang “pantastis”…adilkah bagi seorang ibu harus dihadapkan pada merajalelanya toko-toko modern yang sudah beberapa kali menyajikan makanan penuh racun kepada masyarakat?. Bahkan yang ada dipikiran mereka, hanya bisa menunggu dagangannya dengan tidak penuh harap. Bahkan mereka harus bertahan dengan rengekan anaknya yang tetap menangis meminta uang untuk membeli snack berhadiah, karena mereka sudah tidak mau lagi puas dengan makanan buatan tangan ibunya…
Terkadang membuka mata bagi mereka-mereka yang tertindas dalam gemerlap pasar global, membuat selera makan saya hilang ketika duduk di kursi McDonald, KFC ataupun Pizza Hut. Dan apapun nama “warung” itu. Seakan-akan setiap rupiah yang saya bayarkan terbayang betapa berartinya uang ini jika jatuh ke tangan ibu-ibu pedagang tradisional, bapak-bapak penarik becak, sopir yang menunggu penumpang dipinggir jalan, para pemulung yang hidup ditengah sampah penuh lalat.
Tapi, saya yakin bahwa Tuhan akan memandang kehidupan mereka dari mata Beliau yang berbeda dan penuh dengan kasih. Tetap memberikan harapan untuk hidup ditengah kerasnya hukum hidup yang dibuat oleh orang-orang berkuasa untuk melawan orang lemah…
Sebenarnya siapa yang penakut??
Para pemegang kuasa atau orang yang tertindas???
Orang tertindas tidak akan mampu membuat aturan untuk melindungi mereka sendiri. Tapi orang berkuasa, terus membuat aturan untuk menjauhkan mereka dari jangkauan para kaum tertindas..
Adakah yang berani melarang membuat supermarket sampai ke pelosok desa untuk melindungi pedagang tradisional?
Adakah yang berani memberikan pelayanan kesehatan dengan biaya murah bagi mereka yang sangat butuh sehat hanya untuk bekerja untuk bertahan hidup??
Siapan pun merek itu, mereka harus yakin bahwa selama hidup mereka akan dinanti bahkan sampai mati pun akan tetap diharapkan hidup kembali…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar